Sinergi Triple Helix dan Ekosistem Inovasi
Double-helix menjadi kekaguman banyak ilmuwan biologi karena “keanggunan” molekul informasi DNA (Deoxyribonucleic acid) ini. Struktur double-helix menjelaskan bagaimana molekul-molekul hidup - beserta kode genetiknya, berinteraksi satu sama lain dan membentuk berbagai fungsi yang membangun kehidupan. Dari sinilah, Sinergi Triple Helix diangkat sebagai gagasan bagaimana hendaknya interaksi di antara unsur Academics - Business - Government (A-B-G) membangun sinergi untuk berinovasi. Tesis Triple Helix menyatakan bahwa interaksi di antara unsur A-B-G ini adalah “kunci” membangun inovasi berbasis pengetahuan. Akademisi sebagai sumber pengetahuan dan teknologi baru; Bisnis berperan sebagai lokus “produksi”; sedangkan Government / Pemerintah berperan sebagai pengelola interaksi, alih pengetahuan/teknologi, dan hubungan kontraktual di antara keduanya agar berjalan produktif dan bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, bahwa ekosistem triple helix antara akademisi, bisnis, dan pemerintah saat ini belum berlangsung optimal. Oleh karena itu, upaya membangun sinergi triple helix akan menjadi fokus dan prioritas pemerintah. Dikatakan bahwa Indonesia sebenarnya telah memiliki ketiga unsur triple helix untuk hilirisasi riset dan inovasi; namun di antara ketiganya belum terbentuk rasa saling memahami dan mempercayai. Jadi, kita tak perlu lagi mempermasalahkan “apakah” triple-helix? atau “mengapa” mesti membangun triple-helix? Masalah kita adalah “bagaimana” membuatnya terjadi? ... It is not anymore What, or Why, but HOW?
Belajar dari berbagai model terbangunnya sinergi triple helix di seantero dunia, setidaknya ada lima faktor pendorong “sinergi" triple-helix. Faktor yang pertama, adanya kebutuhan / demand / needs yang berkembang di masyarakat; apalagi kalau kebutuhan tersebut dirasakan secara serempak oleh ketiga unsur A-B-G. Faktor kedua, adalah adanya keunggulan atau kekhasan sektoral / regional / fungsional, yang dimiliki oleh sektor ekonomi tertentu, daerah tertentu, atau budaya tertentu; yang dengan berinovasi diharapkan meningkatkan kesejahteraan, atau hanya sekadar menjadi kebanggaan bagi warganya. Faktor ketiga terkait dengan kebijakan / pranata regulasi yang menjadi peran dan tanggung jawab pemerintah. Untuk membangun sinergi, diperlukan kebijakan terpadu yang mendorong sinergitas lintas sektor. Kebijakan untuk inovasi harus menghasilkan efek paksa (push) atau insentif / motivasi (pull) secara simultan bagi ketiga unsur A-B-G untuk bergerak, berinteraksi, dan berkolaborasi menuju sasaran bersama. Inilah tantangan terbesar membangun sinergi, dimana setiap unsur A-B-G hidup dalam dunia yang berbeda: bahasa yang berbeda, motivasi dan idealisme berbeda, bahkan cara mengukur keberhasilan dan risiko juga berbeda.
Dua faktor terakhir, keempat dan kelima, adalah adanya situasi krisis dan pada saat yang sama hadirnya kepemimpinan (leadership) yang memaksa ke tiga unsur A-B-G berkolaborasi. Henry Etzkowitz, pencipta model Triple Helix ini menunjukkan bahwa sinergi dan kepemimpinan triple-helix umumnya muncul sebagai respons terhadap situasi darurat. Soekarno memimpin inovasi Indonesia menjadi negeri merdeka, atau John F. Kennedy memimpin Amerika bersaing dengan Uni Soviet mendaratkan manusia lebih dahulu di bulan; dan bahkan kita juga melihat krisis pandemi Covid-19 telah melahirkan berbagai kepemimpinan sinergis (dan kolektif) di antara unsur-unsur A-B-G yang menghasilkan berbagai inovasi hebat. Tanpa adanya krisis Covid-19, inovasi-inovasi hebat tersebut barangkali belum atau tidak pernah terjadi.
Ekosistem Inovasi Indonesia
Lalu bagaimanakah secara konkrit kita merealisasikan ekosistem inovasi untuk Indonesia? Jawabannya sepertinya bukanlah sebuah model tunggal. Kita belum menghasilkan sebuah model sukses ekosistem inovasi yang dapat di“copy & paste”. Indonesia dengan kebhinekaanya, memerlukan lebih dari sekadar sebuah model yang berlaku bagi semua tantangan inovasi yang kita hadapi. Berbagai rintisan model eksosistem inovasi yang telah atau sedang dipersiapkan oleh setiap unsur A-B-G, tentunya bisa dijadikan sebagai baseline untuk pengembangannya lebih lanjut.
Dari prakarsa pemerintah (G), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) nampaknya tengah disiapkan sebagai model ekosistem inovasi strategis yang terkait dengan tujuan nasional. Sementara itu berbagai prakarsa, seperti sistem Inovasi Agribisnis Nilam di Aceh Utara misalnya, dapat dipertimbangkan sebagai model sistem inovasi berbasis daerah (SIDA). Sedangkan dari prakarsa akademik (A) oleh Litbang / Universitas, maupun B (bisnis / industri), perlu juga diangkat masing-masing satu / dua pilot model sistem inovasi; yang jika perlu, sementara dikecualikan dari berbagai kendala rambu-rambu birokrasi / peraturan, demi terciptanya interaksi, kolaborasi dan sinergi.
Salam inovasi!
_______________________________________
Kristanto Santosa (Business Innovation Center)
(KS/090920)
.