INOVASI TANPA DISRUPSI
Inovasi “besar” seringkali langsung diasosiasikan dengan terjadinya disrupsi / gangguan (disruptions), semenjak Prof. Clayton Christensen dari Universitas Harvard menyebutkan istilah “disruptive innovation”, dalam tulisannya tentang inovasi yang didorong perkembangan teknologi yang mengakibatkan terguncangnya kesetimbangan dalam bisnis / industri.
Contoh yang sering kita baca, misalnya bagaimana inovasi “IPhone” dari Apple membuat Nokia, dan Sony, dan Black-Berry yang bisnisnya lagi semringah mendadak amblas, padahal mereka tidak membuat kesalahan serius dari kacamata strategi bisnis. Contoh inovasi disruptif lainnya, misalnya akibat maraknya unduhan musik digital dan YouTube, berakibat bisnis compact disc (CD) berikut alat pemutarnya “bubar jalan”.
Di Indonesia, kita juga menyaksikan bagaimana inovasi “online” plus “Go-Jek” plus “Tokopedia”, yang sekalipun diyakini telah ikut menyelamatkan ekonomi kita saat pandemi Covid-19; namun juga ditenggarai telah ikut bertanggung-jawab pada terjadinya gangguan-gangguan mematikan bagi para pelaku bisnis di pasar Tanah Abang, dan di Glodok; selain juga menyurutkan bisnis ruko dan mall-mall di kota-kota besar.
Pada akhirnya, lalu orang menyimpulkan bahwa inovasi yang hebat juga mengakibatkan berbagai disrupsi di dunia bisnis/industri, dan itu adalah konsekuensi / keniscayaan yang tak terhindarkan. Semakin hebat suatu inovasi, semakin hebat pula disrupsi / gangguan yang diakibatkannya.
Apakah benar disrupsi adalah konsekwensi berinovasi tak terelakkan?
Disrupsi kini memang mendominasi pemikiran teori maupun praktek inovasi. Tetapi disrupsi, dengan kekuatannya juga disadari berpotensi merusak - menggusur pekerjaan, membangkrutkan perusahaan, bahkan seluruh industri. Jadi apakah kita tak punya pendekatan alternatif bagi inovasi dan pertumbuhan bisnis namun tidak merusak?
Penulis buku bisnis terlaris #1 dunia “Blue Ocean Strategy”; Chan Kim dan Renée Mauborgne, kembali mengusik pemikiran kita soal berinovasi dan sukses dalam bisnis. Sama seperti di Blue Ocean Strategy, dimana mereka mendefinisikan kembali esensi strategi sebagai menciptakan sukses tanpa harus bersaing; kini buku mereka yang baru: “Beyond Disruption” mendefinisikan ulang dan memperluas pola-pikir inovasi, dengan menawarkan alternatif berinovasi cara baru, yaitu berinovasi tanpa mendisrupsi. Dalam bukunya Chan Kim & Renee Mauborgne menyajikan contoh-contoh nyata dan populer, bahwa inovasi tanpa disrupsi sebenarnya sudah terjadi sejak dahulu kala. Sebagai contoh, buku ini mengangkat inovasi kacamata baca (corrective glasses), yang saat ini sudah tidak lagi dianggap karya inovasi, dan diperlukan oleh lebih dari dua milyar orang di seluruh dunia. Dapat kita bayangkan besarnya nilai yang telah diciptakan sampai saat ini dari inovasi ini, tanpa mendisrupsi industri atau bisnis apapun.
Contoh lain yang disajikan mulai dari inovasi produk pembalut wanita, sistem keuangan mikro Grameen Bank (Bangladesh), juga inovasi serial TV Sesame Street sebagai media pendidikan anak-anak pra-sekolah yang mencetak rekor memenangkan 189 Emmy Awards dan 11 Grammy Awards! Bagaimana pula dengan inovasi dari sang jawara inovasi Elon Musk, yang menawarkan pada Anda kesempatan early booking untuk berwisata ke ruang angkasa?
Sekalipun sang duo penulis “Beyond Disruption” ini menawarkan proposisi berinovasi tanpa disrupsi; tapi sejatinya mereka telah mendisrupsi berat para pelanggan, yaitu para pembaca buku mereka ini; hanya karena mereka “kepo” soal inovasi paling inovatif yang non-disruptif.
Salam inovasi!
(KS/240723)