SIMFONI INOVASI - PART 01
BIC mendapat kiriman (entah dari siapa?) catatan dialog inovasi antara Dr. Kusmayanto Kadiman (KK) - Menteri Negara Riset dan Teknologi RI, dengan Ir. Suryatin Setiawan (SS) pelaku Bidang Informasi dan Komunikasi dan Mantan Direktur Bisnis Jasa PT Telkom Indonesia; yang menurut BIC masih relevan untuk kita simak. Topik pembicaraan adalah soal: "Determinasi dalam Kebijakan Inovasi | Milestones Program TIK | dan Keutuhan Rantai Nilai Inovasi". Karena batasan di Blog BIC, terpaksa dialog ini dimuat menjadi dua bagian: Part 01 dan Part 02. Selamat menikmati, Salam inovasi ! (KS/03/12/25)
SIMFONI INOVASI - PART 01
KK: Saya melihat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) itu berpotensi untuk berperan sebagai bonding agent, atau agen pengikat ketiga elemen A-B-G.
SS: Ya. Dan juga sebagai enabler yang membuat kita makin produktif dan lebih transparan. TIK itu semacam 'bumbu" yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.
KK: Kalau kenyataannya potensi-potensi itu semua belum terealisasi, apa yang keliru?
SS: Ya, kita bisa lihat Malaysia ketika dipimpin Mahathir. Sektor informasi dan komunikasi berkembang pesat mulai dari infrastruktur sampai ke industri manufakturnya. Mahathir berdiri di depan, dan memberitahu bangsanya jalan ke arah mana yang akan ditempuh, objektif apa yang dikejar, sumber-sumber daya apa yang dilibatkan. Kemudian dia memandu perjalanan itu. Kalau tidak ada kepemimpinan seperti yang dia tegakkan, semua pihak akan mengusulkan gagasan dan pendekatannya sendiri-sendiri. Dan masing-masing pihak merasa benar. Akibatnya, tidakakan ada program yang terealisasi, atau program-program berjalan hanya dalam ranah yang sempit, sesuai kepentingan dan dukungan kelompok. Jadi, diperlukan kombinasi pendekatan antara bottom-up dan top-down. Kelebihan pendekatan top-down adalah efektivitas. Tapi pendekatan seperti ini bisa kurang sesuai dengan situasi sosio-politik saat ini.
KK: Kalau kita lihat kasus Malaysia, seandainya saja Mahathir masih tetap memimpin dan sukses, itu kan betul-betul top-down! Dia mulai dengan memegang tali komando, mendirikan Putera Jaya, baru dia turunkan ke tingkat bawah. Itu kan efektif.
SS: Betul, efektif itu. Hanya saja, rupanya dia belum berhasil menumbuhkan akarnya. Dia tinggalkan yang dirintisnya sebelum akarnya tumbuh kuat Pendekatan top-down itu memang efektif, cepat berjalan dan menyeluruh. Tetapi agar ini terus bertahan, harus ada jejak-jejak yang nyata dalam kehidupan sosial, politik, maupun ekonomi. Dengan begitu, kalau terjadi pergantian kepemimpinan, masyarakat dan pemimpin baru itu bisa melanjutkan hal-hal yang sudah terlihat nyata. Dalam proses pergantian kepemimpinan di Malaysia, tampaknya akar itu kurang kuat. Jadi, pada intinya perubahan itu perlu bersistem. Membangun sistem itu memang lambat. Tapi bila ini berlangsung secara konsisten, maka akan bersinambung ke masa depan. Kalau tidak konsisten, apa-apa yang sudah dirintis bisa hilang.
KK: Ya, betul! Di Malaysia itu sistemnya belum sempat terbangun dengan mantap. Sinten dan sistem, keduanya penting. Sinten dalam bahasa Jawa artinya siapa, atau pelaku. Kehadiran tokoh penghela perubahan itu perlu. Tapi terbangunnya sistem juga diperlukan bagi kesinambungan perubahan itu. Di Malaysia sudah ada pemimpin yang menggerakkan perubahan. Tapi kalau belum terwujud sebagai sistem, ketika terjadi pergantian orang-orang, sistemnya pun terpengaruh dan berubah. Sementara itu kalau kita lihat di negara-negara berindustri maju, mereka telah berhasil membangun sistem secara mantap. Ketika orang-orangnya berganti, sistemnya tetap bertahan dan stabil.
Kita lihat misalnya bagaimana komputerisasi terjadi di sana. Budaya tulis-cetak dengan medium kertas telah maju dan mapan. Mereka mampu melakukan pencatatan, pengolahan data, dan lain-lain. Lalu ketika muncul kebutuhan akan kecepatan, ketepatan, dan integritas, muncul gagasan untuk menggunakan media elektronik. Lalu berkembanglah penggunaan komputer sebagai jawabannya. Komputerisasi terjadi melalui pengembangan struktur baru, yang ditopang oleh kultur dan struktur yang sudah mapan. Nah, kembali ke kasus Malaysia, tampaknya Mahathir ingin mulai dengan struktur, dengan harapan akan diikuti dengan perubahan kultural. Ini yang belum berhasil.
Kalau Indonesia, baik struktur maupun kultur belum tersedia untuk menopang komputerisasi. Sudah banyak orang tahu bahwa kalau kita bisa membangun TIK, banyak masalah informasi bisa dijawab. Bukan mustahil TIK bisa dimanfaatkan KPK, Timnas TIPIKOR, atau lembaga-lembaga lain yang penting untuk membangun good governance. Tapi, meski sudah banyak orang tahu potensi TIK, mengapa belum terlihat perkembangan yang cukup berarti?
SS: Ya..., motornya itu..., harus ada mesin penggerak yang kuat!
KK: Bukankah kita sudah punya Tim Telematika Nasional? Rasanya ini sudah lama dibentuk. Apa lagi yang masih kurang?
SS: Ya, kita sudah punya tim nasional sejak 1996, di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Waktu itu saya dipanggil untuk ikut membantu program Nusantara-21. Lalu dibentuk Tim Telematika. Tetapi belum cukup lama ini berjalan, semua hilang ketika terjadi krisis moneter. Di era Reformasi Tim Telematika tidak banyak berperan, karena banyak agenda reformasi yang lebih menjadi prioritas. Kita juga pernah punya program besar, yakni Satelit Palapa. Kehadiran Satelit Palapa, dan bagaimana dia memenuhi fungsinya sebagai salah satu medium komunikasi yang menjangkau seluruh Nusantara, boleh dibilang berjalan dengan konsisten. Begitu terbang di angkasa, dia tetap di sana dan bisa dipakai. Yang menarik adalah ketika Palapa meluncur, terjadi perkembangan kegiatan manufaktur yang bagus sekali. Ketika Palapa meluncur, pemerintah dalam situasi politik waktu itu, masih sanggup menugasi tiga perusahaan nasional yang sebelumnya tidak punya apa-apa, yaitu PT INTI, RFC (Radio Frequency Company), dan LEN (Lembaga Elektronika Nasional). Kebutuhan pasokan komponen nasional disediakan oleh ketiga perusahaan itu. PT INTI untuk wilayah barat, LEN wilayah timur, sisanya RFC. Itu pengembangan manufaktur yang efeknya besar sekali. Saya terlibat dalam pengembangan industri itu.
Kami mulai segalanya dari nol; membangun jalur produksi, merekrut orang, pengadaan perlengkapan produksi, pengembangan prototipe, dan lain-lain, sampai semuanya berjalan. Jadi, ini semua membentuk serangkaian milestones. Hanya sayangnya, yang kemudian hilang konsistensinya itu. Pada milestone berikutnya kami mendapatkan dana dari UNDP untuk membangun sistem komunikasi satelit berbasis data paket. Nah, teknologi data paket ini merupakan dasar dari teknologi internet yang sekarang populer. Jadi, itu boleh dibilang teknologi yang berorientasi jauh ke depan. Projek itu sendiri, karena bersumber dana dari UNDP, berpola multinasional. Dalam projek itu terlibat periset dari Inggris, Jepang dan Indonesia. Tetapi, sesudah ini semua dikerjakan, tidak dipakai! Ketika produk itu selesai, dengan usaha yang lumayan berat, kami sampaikan laporan ke jajaran pimpinan waktu itu. Kami bawa produk itu. Komentar yang mereka lontarkan hanya, "Wah, di Amerika jauh lebih maju!". Mendengar komentar ini, kami, para insinyur, rasanya seperti ditampar. Itu peristiwa yang sangat berkesan bagi saya. Saya tidak bisa lupa.
Para pimpinan itu sepertinya tidak menunjukkan apresiasi sedikit pun. Mereka berkomentar begitu tanpa tahu apa isi produk yang dibuat, sebuah teknologi yang sebetulnya berorientasi jauh ke depan. Nah, konsistensi itu yang tidak ada. Akhirnya apa-apa yang sudah dicapai dengan berhasil, menjadi lenyap. Konsistensi tidak ada, pola tidak ada. Jadi, kita selalu gagal untuk menyambung milestone yang satu ke milestone yang berikutnya. Kalau Jepang, mereka sangat konsisten dengan apa yang mereka kerjakan. Mereka telah meraih suatu kesadaran bersama, tanpa perlu diwacanakan atau ditulis lagi, bahwa mereka harus menyelamatkan bangsa Jepang. Dan untuk kepentingan nasional ini, apa-apa yang sudah baik tidak diutak-utik terus-menerus. Mana-mana yang sudah baik diteruskan. Kita sering memulai sesuatu, tetapi setelah sedikit berkembang, mundur ke awal lagi. Kita ini seperti bergerak dalam permainan "ular-tangga." Jadi setelah bergerak sekian langkah, ketika sampai di mulut ular terus turun lagi ke belakang. Saat ini momentumnya memang tengah diciptakan kembali.
KK: Kalau kita kembali pada unsur-unsur A-B-G, kira-kira apa faktor yang perlu bekerja yang membuat TIK menjadi pemersatu bangsa? Kita tahu bahwa dalam kasus Palapa, agenda TIK nasional memerankan TIK sebagai pemersatu. Nah, apa yang hilang sekarang ini, yang kalau muncul bisa menggerakkan TIK sebagai pemersatu bangsa? Tadi kita sudah bicarakan faktor kepemimpinan yang kuat dan konsisten.
SS: Saya kira faktor yang lain adalah kesadaran. Kita ini kan bukan termasuk bangsa yang, maaf saya katakan ini, disegani dalam kancah percaturan antar bangsa-bangsa. Ini suatu keadaan yang sudah berada di dasar jurang keterpurukan. Ini yang harus kita sadari. Atas kesadaran ini mestinya kita mau mengesampingkan perbedaan-perbedaan, dan mulai melangkah maju dengan lebih cepat. Salah satu enabler-nya, ya TIK itu. Kita mulai bangun kapasitas, menjadi lebih transparan, sehingga orang lain menjadi lebih percaya pada kita. Jadi, kolektivitas itu unsur yang hilang di Indonesia. Kalau perusahaan-perusahaan besar sekarang sudah mengandalkan TIK.Tapi Pemerintah masih agak lamban. Dunia akademik juga masih lamban dalam pemanfaatan TIK. Di beberapa komponen sosial di masyarakat, TIK sudah menjadi faktor daya untuk hidup dan berkembang. Hanya saja secara kolektif, ini belum terjadi .........
Bersambung ke Part 02 ►
