Merangkai “Puzzle” Ekosistem Inovasi Indonesia
Kabinet Kerja jilid II sepertinya berpotensi membawa semangat, optimisme dan momentum inovasi bagi kita, a.l :
1. Visi Presiden yang menempatkan “Inovasi dan Perubahan Paradigma” sebagai landasan program Kabinet Kerja jilid II.
2. Diundangkannya UU Sistem Nasional Iptek & Inovasi No. 11 tahun 2019, yang membuka peluang berinovasi secara lebih kolaboratif, dinamis dan sinergis.
3. Diterbitkannya PP No. 45/2019 yang menawarkan super tax deduction bagi pelaku usaha yang melakukan kegiatan riset dan Inovasi.
4. Dibentuknya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), untuk mendukung program-program inovasi nasional yang bersifat strategis.
5. Komitmen pemerintah meningkatkan anggaran riset dan inovasi secara signifikan, jika dapat ditunjukkan memberikan dampak bagi kemajuan Indonesia.
Dan yang tidak kita harapkan dan perhitungkan, namun terbukti telah memicu berbagai kolaborasi inovasi yang hebat adalah datangnya krisis global pandemi Covid-19.
Kendala utama dalam mencapai kinerja inovasi di Indonesia sejatinya bukanlah karena keterbatasan pendanaan (uang) yang melalui riset di "konversi" menjadi ilmu pengetahuan. Kendala utamanya adalah justru karena belum terbangunnya ekosistem untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk di "konversi kembali" menjadi uang (value dalam arti luas), yang adalah hakekat suatu inovasi.
Kendala berinovasi juga bukan karena terbatasnya kompetensi manusia Indonesia, atau terbatasnya permintaan pasar, atau kurangnya minat berinovasi. Kendala terutama kita, adalah karena berbagai “puzzle” kebijakan / peraturan pemerintah yang belum terangkai dan membangun ekosistem dan paradigma yang kondusif bagi kolaborasi/sinergi inovasi, antara Akademisi / Ilmuwan (A), Bisnis (B) dan Pemerintah / Government (G).
Dengan adanya momentum dan semangat positif di atas; pemerintah sebaiknya segera merangkai berbagai puzzles dan melakukan “fine-tuning” pada berbagai kebijakan dan peraturan terkait inovasi yang sebenarnya telah dibuat namun belum efektif karena berjalan sendiri-sendiri dan terjadi “bottlenecks” untuk terbangunnya ekosistem inovasi yang bisa berjalan “self-reinforcing” dan terakselerasi, untuk meletakkan dasar-dasar bagi transformasi ekonomi nasional menuju pertumbuhan yang terakselerasi dan kompetitif.
Untuk menghasilkan "quick-wins” (lihat diagram), pemerintah mestinya tinggal melakukan “fine-tuning” pada berbagai petunjuk pelaksanaan (juklak) yang telah ada, maupun yang sedang disusun secara terpadu. Ini niscaya dapat mengaktifkan dampak insentif yang sebenarnya telah ditawarkan pemerintah ke pelaku bisnis, maupun ke inovator di lingkungan litbang dan universitas negeri; agar tercipta “dana berputar” bagi riset dan inovasi nasional yang deras dalam ekosistem inovasi kita. Saat ini 85% kapasitas dan pendanaan riset nasional ada di tangan pemerintah, padahal pendanaan inovasi selayaknya harus datang dan menjadi tanggung-jawab sektor swasta/industri yang memperoleh manfaatnya.
Pelaku bisnis jika ditawari insentif diskon pajak sampai 300%, mestinya akan “bergairah” untuk mengambil alih tanggung-jawab pendanaan inovasi dari pemerintah, karena kompetensi maupun biaya jasa riset dan inovasi milik pemerintah sangatlah kompetitif dari kacamata swasta. Di sisi lain, pemerintah akan memperoleh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang dapat “diputar” untuk pendanaan riset dan inovasi. Dengan inovasi bisnis yang sukses, daya saing dan keuntungan bisnis niscaya meningkat, dan pemerintah akan meraup berbagai “bonus”; termasuk PNBP, peningkatan penerimaan berbagai pajak, selain tentunya pertumbuhan ekonomi / penguatan daya saing ekonomi Indonesia.
Kalau Pemerintah bertekad melakukan prakarsa-prakarsa berisiko besar dan berpotensi "gaduh"seperti "Omnibus Laws", dan prakarsa Industri 4.0; mengapa tidak terlebih dahulu memanen "low hanging fruits" inovasi yang menanti di atas?
Salam inovasi!
____________________________________________________________
Kristanto Santosa (Business Innovation Center)
(KS/19/02/20)