• +6221 4288 5430
  • +62 8118 242 558 (BIC-JKT)
  • +62 8118 242 462 (BIC-INA)
  • info@bic.web.id

Ilmuwan Harus Turun Gunung!



Kisah heroik para ilmuwan di China dan di berbagai belahan dunia selalu menginspirasi saya. Seakan-akan kita memiliki satu DNA yang tidak pantang menyerah dengan kondisi yang kita hadapi. Jalan buntu karena fasilitas terbatas dapat kami lompati. Dinding penghalang kreativitas telah kami lampaui. Kami sudah kebal dan sudah "emoh" merengek-rengek minta "dijejali" (baca: dibelikan) fasilitas canggih, sebagaimana layaknya ilmuwan di negara maju.

Karena negara dan takdir ini telah cukup memberikan kesempatan kepada saya menjadi orang seperti sekarang ini. Kurang apa lagi? Setelah lulus SMA, saya mendapat beasiswa Program Habibie 5 tahun S1, dilanjutkan beasiswa pemerintah Jepang Monbukagakuso 5 tahun lagi untuk S2 dan S3, lalu bisa bekerja empat tahun di perusahaan Jepang dan Lembaga Riset Daerah Kagoshima Jepang. Saat kembali ke Indonesia di tahun 2004, setelah 14 tahun di Jepang, saya diberikan meja dan kursi serta bengkel kecil dengan mesin bubutnya di Puspiptek. Jujur saja, ijazah S3 dan berbagai sertifikat keahlian maupun paten, serta tanda penghargaan dari Jepang telah saya "buang" (karena dimakan rayapsmiley). Itu cuma masa lalu dan mimpi panjang untuk dapat diterapkan di Indonesia tercinta ini. Ditambah lagi gaji PNS saat itu cuma seperempat puluh dari gaji saya di Jepang, saat menjadi peneliti senior dan advisor Konsorsium Khusyu dari projek NEDO Jepang.

Indonesia telah memberi kesempatan bagi saya menimba ilmu di Jepang. Dan meja kursi serta mesin bubut adalah anugerah yang luar biasa. Apalagi di LIPI, saya diberi kebebasan sebebas-bebasnya berkreasi dan berinovasi; sekalipun kerap juga dibilang sebagai peneliti “gila” atau diisukan sebagai peneliti “tukang” bisnis. ....... Mesin bubut dan kebebasan ......,  cukuplah untuk membuktikan kepada dunia cita-cita di kepala saya. Dengan mesin bubut di bengkel super mini ini, saya membentuk tim yang solid; mulai dengan 4 orang, lalu menjadi 8 orang, dan “meledak” menjadi 20 org, 50 orang; dan kini sudah lebih dari 150 orang, yang berkarya pada berbagai kegiatan inovasi di 10 perusahaan start-up; yang alhamdulillah bergerak dengan sangat cepat, dimotori oleh rekan-rekan muda: Radyum Ikono, Suryandaru Belitung, Arev Iskandar, Novan Maulana, Sulthoni Akbar, Alfian Noviyanto dan rekan muda lainnya dari berbagai belahan dunia.

Mulailah kami mengembangkan mesin-mesin nano-partikel, agar bisa melakukan penelitian pembuatan nanopartikel dari berbagai bahan baku sumber daya alam Indonesia yang kaya. Mulai dari: pasir silika, pasir besi, pasir zirkonia, batu tembaga; maupun bahan-bahan herbal: kunyit, tongkat ali, spirulina, propolis dan sebagainya (https://tekno.tempo.co/read/423951/nurul-ciptakan-mesin-penggiling-nanopartikel); sambil mengembangkan produk “nano-nanoan" bagi industri-industri  kecil Indonesia.  Masalah alat uji  karakterisasi, yang memang tidak tersedia di kantor tidaklah harus menjadi kendala. Saya sudah buang mimpi, bahwa bekerja perlu punya alat-alat canggih seperti di Jepang XRD, SEM, EPMA dan lain-lain.  Dengan memanfaatkan jejaring dengan para ilmuwan di Jepang, maupun dengan teman-teman para “Profesor Nano” di Singapura, kami bisa mengirimkan staf ke Jepang atau Singapura,  dua minggu atau bahkan sebulan; dengan membawa 100 sampel atau lebih untuk diuji dan dikarakterisasi secara gratis. Hanya diperlukan dana sepuluh atau dua puluh juta rupiah, dan dalam dua minggu kami mendapatkan data uji XRD, SEM, EMPA, TEM gratis dikirim lewat email, dan ukurannya bisa sampai 40 Gigabytes.  Inilah yang kami lakukan dalam bekerja di hutan rimba penelitian Indonesia.

Tim muda kami bekerja mulai jam 7 pagi dan pulang rata-rata jam 10 malam hari, setiap hari!  Mungkin hasil kerja kami setahun setara dengan tiga, atau bahkan 5 tahun, kerja peneliti pada umumnya.  Dalam setahun publikasi ilmiah kami mencapai 30 atau bahkan 50 publikasi, nasional maupun internasional. Alhamdulillah, dalam waktu hanya lima tahun bekerja dengan meja, kursi dan mesin bubut, saya mendapatkan anugerah Habibie Award.  Selain itu, tidak kurang dari 40 paten dan HKI lainnya didaftarkan dan dikomersialkan.
( https://www.google.co.id/amp/s/m.republika.co.id/amp/nanqde )

Dengan kerja keras, teamwork, serta selalu bermitra dengan industri; seorang ilmuwan pasti bisa mengaktualisasikan dirinya, dan berkontribusi nyata bagi perekonomian Indonesia;  sebagaimana layaknya cerita “heroik” ilmuwan di dunia seberang sana. Peneliti harus mau turun gunung dan menyingsingkan lengan baju, dan berkeringat demi mewujudkan impiannya. Tidak pantaslah kalau sebagai ilmuwan yg telah melalang buana di dunia, masih juga cengeng dan merengek meminta fasilitas, untuk bisa dan mau bekerja.  


Ayo adik-adikku ilmuwan muda kita turun gunung! Kita keroyok Indonesia tercinta kita... Maju... Serbu...!

Salam inovasi!

Dr. Nurul Taufiqu Rachman 
___________________________

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 


(KS/180221)
 


Komentar

Belum ada komentar

Tinggalkan Pesan

Blog Terbaru

INOVASI TANPA DISRUPSI:  OLEH-OLEH DARI JALAN-JALAN

Pengarang buku strategi inovasi “Blue Ocean Strategy”, Chan Kim & Renee Mauborgne; l

Inovasi Indonesia Ini Bernama IKN

Kebanyakan kita akan sepakat bahwa prakarsa pemindahan ibukota kita ke IKN Nusantara adalah prakarsa

Inovasi "Champion of the Forest" dan Spirit “5K”

Oleh: Wiratno * (23-Sep-2023) Perhutanan Sosial sejak diperjuangkan oleh banyak tokoh di Kongres Ke

INOVASI TANPA DISRUPSI

Inovasi “besar” seringkali langsung diasosiasikan dengan terjadinya disrupsi / gangguan

Lima Hal Untuk Menjadi Inovator Sejati

Pertama-tama saya perlu mengakui, bahwa saya bukanlah seorang inovator. Bukanlah hal yang mudah untu