Inovasi Indonesia 2008-2018: Tinjauan Makro, Meso dan Mikro
Pada tanggal 22 Januari 2019, Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB (SBM-ITB) telah mengundang BIC untuk memberikan paparan tentang realita prakarsa inovasi di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Tersirat di dalam undangan ini barangkali adalah ”gugatan” atau pertanyaan: “Apa yang telah dilakukan oleh BIC selama sepuluh tahun sejak didirikannya pada tahun 2008?” Paparan/kuliah tamu ini adalah bagian dari kuliah “Kepemimpinan dan Praktek Manajemen” yang diharapkan dapat mendekatkan para mahasiswa dengan realita lapangan.
Pada paparan yang dihadiri oleh sekitar 200 mahasiswa SBM-ITB, Direktur Eksekutif BIC Kristanto Santosa, menyampaikan tiga sisi pandang tentang inovasi di Indonesia: dimensi makro yang menyangkut kebijakan nasional atau regional, termasuk strategi dan regulasi yang terkait dengan sistem inovasi nasional/daerah; dimensi meso yang menyangkut peran organisasi dan lembaga yang terkait dengan inovasi (perusahaan, pendidikan, litbang) termasuk ITB atau SBM-ITB dalam membangun ekosistem yang mendorong inovasi; dan dimensi mikro yang menyangkut prakarsa dan upaya yang menghasilkan karya inovasi.
Sebagaimana diminta oleh SBM-ITB, Kristanto mengajukan dua konsep model, tentang bagaimana menghindarkan inovasi dari “the Valley of Death” (lembah kematian) yang senantiasa menghantui setiap prakarsa inovasi, baik dalam konteks mengembangkan produk inovatif maupun prakarsa bisnis inovatif (business startups).
Dalam konteks meso, Kristanto berpendapat bahwa SBM-ITB justru seharusnya yang berperan sebagai “translator” dan “collaborator” untuk menghilirkan inovasi ITB menuju komersialisasi, yang umumnya terkendala oleh berbagai asymmetries. Asymmetries secara laten terjadi dalam hubungan antara dua “dunia”, termasuk dalam hal ini, antara dunia akademik/IPTEK dengan dunia bisnis/ekonomi.
Dalam konteks mikro, Kristanto menunjukkan secara diagramatik bahwa hilirisasi inovasi yang dikelola semata dengan basis “technology push” akan selalu terdorong menuju ke lembah kematian. Untuk menghindari “tercebur” di lembah kematian dan kemudian gagal bangkit, setiap prakarsa inovasi harus juga dikelola berdasarkan prinsip gabungan antara “technology push & demand pull”.
Sebagai penutup Kristanto menyampaikan bahwa tidak ada upaya inovasi yang bebas resiko. Namun, pemahaman dimensi-dimensi pengelolaan inovasi secara makro, meso, dan mikro akan menghindarkan upaya inovasi menanggung resiko yang tidak perlu.
(KS/22/01/19)