Innovation Driving Sustainable Business
BIC mendukung prakarsa seminar dan diskusi “round-table” tentang inovasi oleh “Fuse Jakarta” yang diorganisasikan oleh Phoenix Communication pada tanggal 13 November 2019, dengan tema: “Innovation Driving Sustainable Business”.
Seminar dan diskusi ini mengetengahkan pembicara kunci Professsor Alf Rehn, seorang “Guru Inovasi” dari negeri Nordic (Skandinavia+), dengan pengantar oleh Menristek RI Prof. Bambang Brodjonegoro, Dirjen Penguatan Inovasi Dr. Jumain Appe, dan Duta Besar Finlandia Jari Sinkari. Berbagai tokoh intelektual dan inovasi yang hadir antara lain: Prof. Bambang Setiadi (Ketua DRN), Prof. Satryo S. Brodjonegoro (Ketua AIPI), Dr. Boenjamin Setiawan (Pendiri Kalbe Group), Dr. Leo Aldianto (SBM & LPIK ITB) dan Bpk. Archie Slamet (IFIC)
Menristek Prof. Bambang Brodjonegoro dalam pengantarnya menyatakan menyambut baik semua upaya untuk membuat inovasi yang berlandaskan “triple-helix” dapat menjadi kenyataan di Indonesia. Dikatakannya, bahwa Indonesia sebenarnya mempunyai banyak inovator yang hebat dan berbakat, seandainya bisnis mau dan bisa memanfaatkannya, dengan dukungan dan komitmen pemerintah; Indonesia akan bisa beralih dari ekonomi yang berbasis kekayaan alam (resources based) menuju yang berbasis sumber daya manusia dan inovasi. Saat ini daya saing global Indonesia menjadi kurang menguntungkan karena faktor “daya inovasi”. Pada akhir pengantarnya Menristek menekankan agar inovasi di Indonesia harus dapat mendukung penciptaan kerja khususnya yang padat karya, agar Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi ke depan. Untuk itu, pemerintah telah menawarkan berbagai kebijakan fiskal bagi bisnis yang berinovasi, dan yang membantu menciptakan lapangan kerja bernilai tinggi; dan juga akan mendorong partisipasi para inovator di lingkungan Litbang pemerintah untuk membangun inovasi yang berbasis “triple helix”.
Professor Alf Rehn, dalam paparannya menyampaikan beberapa paradigma inovasi yang sangat menarik. Dikatakan bahwa prestasi inovasi negara-negara Nordic hendaknya tidak dilihat hanya dari hasil atau prestasi inovasi setelah sukses, namun harus dipelajari dari “advanced innovation architecture”nya, yang terdiri dari “hard sciences” dan “soft sciences”. Sekalipun upaya mengelola inovasi (teknologi dan manajemen, triple helix) merupakan bagian yang penting untuk membangunCreativity, Competencies, Culture; namun Culture (budaya) lah yang perlu dikedepankan. Dalam faktor Culture (budaya) ada 3T: Trust, Transparencies & Togetherness yang merupakan essensi terpenting budaya membangun inovasi.
Negara Nordic membangun “Togetherness”(semangat kebersamaan) dengan sangat serius sejak usia dini, oleh karenanya pendidikan taman kanak-kanak diprioritaskan dan sepenuhnya bebas biaya. Sebagai ilustrasi, Prof. Rehn menceritakan bagaimana ponsel “Nokia Flip” yang pernah merajai dunia, dirancang oleh inovator Nokia, karena serius mendengar keluhan seorang karyawan cleaning service, karena ponsel yang dia simpan di saku pantatnya “menelpon sendiri” saat dia membungkukkan badannya.
Pada bagian akhir paparannya, Prof. Rehn menyatakan siap mendukung prakarsa inovasi Presiden Jokowi, untuk menjadikan Indonesia sebagai “innovation power-house” yang relevan bagi Indonesia dan kawasannya. Dikatakannya, inovasi Indonesia tidak harus menjadikan Indonesia seperti Palo Alto / Silicon Valey, tapi inovasi yang menjawab tantangan nasional Indonesia secara “sustainable”; misalnya menciptakan nilai tambah yang tinggi dari kekayaan alam Indonesia, menciptakan lapangan kerja yang bernilai tinggi bagi rakyat Indonesia, juga menanggulangi permasalahan lingkungan seperti masalah sampah plastik di laut. Prof. Rehn yakin bahwa Indonesia akan bisa membuat lompatan besar inovasi. Menargetkan inovasi senilai 3 trilyun US dollar per tahun bagi Indonesia adalah target yang masuk akal, tegasnya.
(KS/221119)