• +6221 4288 5430
  • +62 8118 242 558 (BIC-JKT)
  • +62 8118 242 462 (BIC-INA)
  • info@bic.web.id

MENGHADAPI BENCANA ALAM DENGAN INOVASI: Saatnya Kita Membangun Science & Technology Parks Kebencanaan?



Sekali lagi kita berduka karena musibah Gempa & Tsunami di Palu, belum dua bulan sejak musibah yang menimpa Lombok Utara, dan diperkirakan memakan korban jiwa dan harta benda yang lebih besar lagi. Sekali lagi, berbagai pihak mencoba menghibur diri dengan mengatakan: “Bencana alam tidak bisa kita hindari, kalau itu sudah menjadi kehendak alam”. Benarkah?

Pada sisi lain, di tengah kesibukan semua pihak untuk sebisa mungkin memberikan bantuan dan dukungan; muncul berbagai ulasan yang mengatakan bahwa Indonesia memang kawasan rawan bencana alam. Bahkan kawasan rawan gempa, atau rawan tsunami, rawan banjir, atau rawan erupsi gunung berapi telah dipetakan; sehingga resikonya seharusnya bisa diantisipasi dan seterusnya.  Beberapa otoritas negara juga mencoba menjelaskan, bahwa mereka sebenarnya tidak tinggal diam.

Selain meningkatkan kemampuan “quick response” setelah musibah terjadi, sebenarnya berbagai teknologi telah dikembangkan untuk memberikan peringatan dini (early warning), atau upaya pencegahan atau mitigasi bencana, atau upaya pemberdayaan masyarakat; agar mereka lebih berdaya dan mampu menolong diri sendiri seandainya bencana datang. 

Namun, saat kita tanyakan apakah upaya-upaya tersebut sudah efektif, seringkali pertanyaan tersebut dijawab dengan: … sayangnya “belum” karena ………  dst.

Sebagian terbesar upaya yang saat ini kita lakukan adalah penanggulangan bencana dengan cara yang lebih cepat, lebih terpadu, sehingga lebih “baik”. Dari media, kita melihat bahwa pemerintah melakukan upaya “habis-habisan” melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) beserta unit BPBD mereka di daerah. Kita juga mensyukuri, betapa pemerintah memberikan perhatian khusus pada penanggulangan bencana, mulai dari pengerahan TNI/Polisi, penugasan khusus para menteri; bahkan Presiden sendiri terjun secara langsung. Namun, perlu menjadi perenungan kita, apakah upaya all-out yang “heroic/responsive” yang telah dilakukan pemerintah cukup?

Sebagaimana kata-kata bijak: “prevention is better than cure”, barangkali saatnya kita mempertimbangkan “meredefinisi” BNPB menjadi Badan Nasional Mitigasi Bencana (BNMB), dimana penanggulangan kita perluas lebih ke upaya “mitigasi”. Selain mengurangi korban jiwa, harta benda, maupun “kesengsaraan” korban, mitigasi  - per definisi -, dapat mengurangi secara drastis biaya-biaya yang diperlukan untuk mengelola peristiwa kebencanaan dalam jangka panjang. 

 

Mitigasi Bencana*

(sumber: http://umum-pengertian.blogspot.com/2016/04/pengertian-mitigasi-secara-umum-tahapan.html)

Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan  menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Bencana sendiri adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.  Bencana dapat berupa gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, banjir, longsor, badai, dan lain-lainnya. Kegiatan mitigasi bencana di antaranya:

  • pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
  • perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; budaya sadar bencana;
  • penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;
  • identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;
  • pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam;
  • pemantauan terhadap penggunaan teknologi tinggi;
  • pengawasan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup;
  • kegiatan mitigasi bencana lainnya. 


Secara umum mitigasi adalah usaha untuk mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman, atau dikenal dengan istilah “mitigasi”.

Science & Technology Parks (STP) Kebencanaan: Why Not?

Menciptakan nilai tambah (inovasi) memang jauh lebih mudah untuk dibayangkan, jika keadaan berjalan normal, berkembang, dan dalam langkah-langkah maju ke depan.  Namun kita yang diberkahi dengan kekayaan alam yang melimpah; pada saat yang sama juga disebut sebagai salah satu negara di dunia yang paling rawan bencana alam, khususnya bencana yang sumbernya di dalam perut bumi.   

Oleh karena itu, selain pengembangan inovasi dalam pemanfaatan kekayaan sumber daya alam; tak kurang pentingnya adalah pengembangan inovasi untuk memitigasi terjadinya bencana yang datang dari alam yang sama.

Saat kita terus berupaya mengakselerasikan dan mengintegrasikan upaya inovasi dengan membangun klaster-klaster sektoral maupun kedaerahan, dan membangun kawasan-kawasan sains dan teknologi (Science & Technology Parks), mengapa kita tidak menyisakan satu dari sekian banyak prakarsa STP tersebut untuk membangun sebuah Science & Technology Parks (STP) Kebencanaan?   

Dari sisi investasi, pemerintah cukup menyisihkan “sedikit” bagian saja dana cadangan kebencanaan BNPB.  Sementara itu, sebagaimana pelajaran yang kita peroleh dari musibah besar gempa dan tsunami yang menimpa Aceh (2004), Indonesia pernah ”kebanjiran” bantuan dan simpati dari seluruh dunia, untuk mitigasi bencana. Namun selain alokasi investasi / dana untuk membangun bangunan peringatan dan museum; sepertinya (saat itu) kita tidak terpikir menggunakannya untuk membangun ekosistem riset, pengembangan dan inovasi untuk mitigasi bencana.

Padahal, kalau ditimbang dari sisi “kesiapan demand”, tidak dapat disangkal bahwa “pasar” teknologi dan inovasi kebencanaan adalah pasar “raksasa”, dan umumnya tidak “price sensitive”. Praktis semua pihak, pemerintah, bisnis, masyarakat; baik domestik maupun global, adalah pasar potensial bagi produk dan layanan teknologi/inovasi mitigasi bencana. Mitigasi bencana adalah “pasar” yang jelas lebih bernilai, ketimbang pasar penanggulangan bencana yang seringkali justru mendominasi persepsi kita, seperti: beras, mie instan, obat-obatan, selimut, tenda, atau bahan-bahan bangunan.

Dari sisi “Kesiapan Inovasi Kebencanaan”, setidaknya telah ada dua karya inovasi anak bangsa, yang diangkat oleh BIC menjadi serial TV “Inovasi Indonesia Berkelas Dunia” (2013), dan Anda masih bisa saksikan di clip Video BIC (di bawah ini), berjudul:

(1) Konstruksi Sarang Laba-Laba,

(2) Detektor Longsor.   

STP Kebencanaan? Why not?

 

    
 (KS15/08/18)

 


Komentar

Belum ada komentar

Tinggalkan Pesan

Berita Terbaru

115 INOVASI INDONESIA – 2023 TERPILIH !

Penjurian "115 Inovasi Indonesia-2022" yang berlangsung pada bulan Januari 2024 lalu

OLEH-OLEH INOVASI TANPA DISRUPSI DARI BANGKOK

Pengarang buku strategi inovasi # 1 sejagat “Blue Ocean Strategy”, Chan Kim & Renee

OBITUARI - PAULUS TJAKRAWAN - Sang Inovator Energi Terbarukan

Duka mendalam bagi BIC dan tentunya bagi banyak inovator Indonesia, saat mendengar berita berpulangn

Program Certified Innovation Professional (CIP) dan Certified Innovation Manager (CIM) – 2024

Workshop Online CIP / CIM untuk tahun 2024 akan segera digelar lagi, dan angkatan pertama akan dimul

SETELAH INOVASI KITA MEROKET DI GII

Di tengah-tengah merebaknya Pandemi Covid-19 lebih dari tiga tahun lalu, BIC memuat tulisan tentang