• +6221 4288 5430
  • +62 8118 242 558 (BIC-JKT)
  • +62 8118 242 462 (BIC-INA)
  • info@bic.web.id

Membangkitkan Inovasi untuk Bangkit setelah Pandemi



Memasuki tahun 2021, sekalipun belum terlihat tanda-tanda kapan pandemic Covid-19 akan usai, indikasi telah bermunculan bahwa ekonomi dunia akan segera bangkit kembali dan didorong oleh suatu “revolusi” inovasi. Kemampuan dan kecepatan berinovasi bukan lagi sekadar sesuatu yang membanggakan atau “it’s good to have”; tapi telah menjadi prasyarat “survival”. Tanpa inovasi, kita akan dipaksa “menikmati” barang/jasa bernilai tinggi yang kita impor, lalu membayarnya dengan komoditas alam kita yang nilainya jauh lebih rendah. Akibatnya ini membebani keuangan negara, memindahkan lapangan kerja yang bernilai ke luar; justru di saat kita membutuhkannya, untuk “menikmati” berkah bonus demografi. 

Sekalipun prinsip membangun sinergi A-B-G (Academics- Business - Government) dalam berinovasi adalah suatu keniscayaan; namun pengalaman dari perjalanan BIC menunjukkan bahwa keberhasilan merealisasikan sinergi A-B-G  masih lebih terasa sebagai kekecualian yang “heroik”, ketimbang sesuatu yang terencana dan terkelola. Berikut beberapa catatan BIC soal sinergi A-B-G, untuk membantu kita semua “membangkitkan” inovasi, dan segera bangkit dari krisis akibat pandemi Covid-19.


Academics (Ilmuwan/Peneliti/Inovator)
Salah satu tantangan terbesar dalam membangun interaksi antara akademisi dan bisnis untuk inovasi adalah kecenderungan akademisi melihat inovasi dari sisi sains/teknologi (Technology Driven), ketimbang dari sisi komersial atau kebutuhan (Demand Driven). Padahal inovasi mesti dirancang sebagai sebuah siklus; dimana riset mengkonversi uang menjadi pengetahuan; dan dilanjutkan dengan inovasi, untuk mengubah pengetahuan menjadi uang kembali. Orientasi pada sains/teknologi cenderung membuat akademisi menjadi menjadi “self-centered”, padahal inovasi yang strategis selalu memerlukan kolaborasi multidisiplin. Ke depan diperlukan kebijakan yang bersifat memaksa (push) maupun insentif (pull) untuk mengorientasikan akademisi kita menjadi lebih “demand driven” dan kolaboratif.         


Business (Sektor Industri/Komersial)
Fakta menunjukkan bahwa pelaku bisnis di Indonesia yang “innovation driven” masih sangat sedikit. Ini ditunjukkan dengan minimnya pendanaan swasta dalam pembiayaan riset dan inovasi secara nasional. Data LIPI (2017) menunjukkan bahwa kontribusi pendanaan riset dan inovasi oleh bisnis masih di seputar 10% dari Gross Expenditure on R&D (GERD), sedangkan Pemerintah masih menanggung lebih dari 85%. Tanpa upaya memperbaiki ketimpangan ini, dengan melibatkan bisnis dalam siklus konversi “uang – pengetahuan – uang” di atas; sulit dibayangkan akan terjadi sinergi A-B-G. Prakarsa pemerintah menawarkan insentif super-tax untuk pembiayaan R&D swasta melalui PP # 45 / 2019, memberi harapan untuk terjadinya terobosan sinergi inovasi antara sektor bisnis dan pemerintah, sumber daya inovasi  yang 85%nya “dikuasai” oleh LitBang pemerintah dapat didorong bahkan “dipaksa” bersinergi.


Government (“Kebijakan” Pemerintah)
Yang juga memberikan harapan untuk terbangunnya sinergi A-B-G adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, yang jika nantinya diikuti dengan Peraturan, Keputusan, Kebijakan dan petunjuk pelaksanaan yang tepat, akan dapat menjadi landasan bagi terciptanya ekosistem inovasi nasional berbasis sinergi A-B-G. Ini termasuk dibentuknya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta ditawarkannya insentif super-tax deduction sampai 300% bagi bisnis swasta yang membiayai riset dan inovasi; serta dibukanya berbagai peluang kolaborasi swasta dan pemerintah, termasuk terobosan kebijakan yang memungkinkan dilakukannya kemitraan dalam kepemilikan hak intelektual oleh lembaga dan badan pemerintah bersama swasta. Kita hendaknya terus mendukung, terus mengkritisi, dan berharap bahwa pemerintah akan dapat segera merealisasi maksud-maksud mulia ini; sekalipun tentunya tidak terlepas dari berbagai risiko kegagalan maupun tantangan dan hambatan. 


Sebagaimana dikatakan Dr. Nicholson sang penemu “Post-It-Notes” di atas, bahwa untuk sukses, itikad dan kreativitas saja tidaklah cukup. Mesti dilanjutkan dengan tindakan konkrit untuk dapat menjadikannya "inovasi"(klik "inovasi" untuk melihat video)

Salam inovasi!  

____________________________________________________________

Kristanto Santosa  (Business Innovation Center)

(KS/090920) 
 


Komentar

Belum ada komentar

Tinggalkan Pesan

Blog Terbaru

Inovasi "Champion of the Forest" dan Spirit “5K”

Oleh: Wiratno * (23-Sep-2023) Perhutanan Sosial sejak diperjuangkan oleh banyak tokoh di Kongres Ke

INOVASI TANPA DISRUPSI

Inovasi “besar” seringkali langsung diasosiasikan dengan terjadinya disrupsi / gangguan

Lima Hal Untuk Menjadi Inovator Sejati

Pertama-tama saya perlu mengakui, bahwa saya bukanlah seorang inovator. Bukanlah hal yang mudah untu

TRL, MRL, IRL, DRL, DLL …. DLL ………….

Tantangan terbesar kita dalam berinovasi bukanlah karena terbatasnya kompetensi manusia Indonesia, a

Menuju Inovasi Nasional yang Berkinerja, atau Bubar Jalan?

Catatan: Tulisan ini selengkapnya telah dimuat di terbitan “105 Inovasi Indonesia -