• +6221 4288 5430
  • +62 8118 242 558 (BIC-JKT)
  • +62 8118 242 462 (BIC-INA)
  • info@bic.web.id

Apakah BRIN Perlu?



Rasanya mustahil pembaca untuk pertama kali mendengar “Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)”. Mungkin umumnya hapal pangkal kehadiran lembaga ini adalah dari keheranan Presiden Jokowi, mengenai bagaimana kementerian/lembaga memakai anggaran riset yang nilai agregatnya tidak kecil.

Sebagai mahasiswa doktoral kebijakan iptek dan inovasi (2015-2019) di National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS) di Tokyo, saya pernah harus berhadapan dengan pertanyaan tersebut. Saya sebut “harus” karena literatur dari Sulfikar Amir dan Deasy Simandjuntak seolah seperti sudah memvonis penerimaan masyarakat atas pola pikir keiptekan Indonesia sesungguhnya berarah simbolik semu daripada mencari kemanfaatan mendalam bagi publik.

Orientasi kebijakan Indonesia kontras dengan negara maju. Di Inggris, Jepang, dan negara matang secara teknologi lainnya, awal kebijakan iptek mereka umumnya bukan bertujuan mencari kebanggaan bangsa melainkan menyelamatkan diri, jadi fungsinya vital. Akui saja, paling tidak sebelum era COVID-19, kita menarasikan iptek sebagai “sesuatu nan canggih” maka kesannya dekoratif dan tidak urgen.

Untuk dapat potret lebih tajam, saya mewawancarai para peneliti senior dan birokrat pendukung dari berbagai kementerian/lembaga Indonesia mengenai bagaimana kondisi institusi masing-masing relatif terhadap kondisi di era Orde Baru. Secara terpisah, saya bandingkan keterangan mereka dengan pihak-pihak eksternal yang berkompeten.

Dalam perspektif utilitas ekonomi, saya temukan kementerian lembaga pengguna dana riset memiliki orientasi kerja litbang berbeda-beda. Sebut saja ada yang mencari solusi masalah kegagalan pasar, ingin menghasilkan produk yang sudah ada di pasar, dan lainnya. Tapi bagian termenarik adalah ada kelompok pelaku riset yang bahkan mengaku terus-terang tidak tahu apa fungsinya bagi negara (!).

Di Indonesia, realitanya tak ada kepemimpinan iptek dan inovasi nasional yang efektif sehingga penggunaan dana riset Indonesia tujuannya lari kesana kemari. Sering tertarik arahan internal kementerian lembaga, ketidakpastian kebijakan di Indonesia tinggi hingga muncullah kelompok-kelompok pelaku penelitian yang tidak hanya mengakui sendiri, tapi pihak luar juga mengkonfirmasi bahwa situasi mereka hilang haluan.


Di ruang ini, saya tak bermaksud mengulas isi disertasi saya (tersedia di situs GRIPS). Tapi, berdasarkan temuan tadi, saya yakin mengatakan setidaknya hingga medio babak pertama era kepemimpinan Presiden Jokowi, proses kebijakan iptek dan inovasi Indonesia mengalami anomie atau disorientasi sosial yang (ironisnya) bisa terbaca para penyelenggaranya. Dalam tidak efektifnya operasionalisasi kebijakan iptek dan inovasi Indonesia, muskil memformulasikan cara optimalisasi anggaran litbang nasional.

Efektif karena Berat

Saat tulisan ini dibuat (mid Mei 2021), Presiden Jokowi telah menunjuk Kepala BRIN. Tentu saya berharap BRIN dapat menjadi aktor penata reorientasi sektor-sektor iptek di Indonesia. 
Memang sulit mengingkari kekhawatiran yang muncul dalam berbagai kolom opini atas besarnya beban politik dan kompleksitas tugas BRIN menyatukan lembaga-lembaga litbang. Tapi di tulisan ini, saya menunjukkan bahwa BRIN punya kesempatan mengharmoniskan kacaunya irama lembaga-lembaga litbang, menjadikannya berfungsi selayaknya negara perlukan.

Perlu diingat, para ahli bidang kebijakan iptek dan inovasi secara fundamental tak mengartikan “inovasi” sebagai aktivitas sederhana, melainkan pekerjaan kompleks dan berjenjang yang seringkali berawal dari kalkulasi komersial, bukan keingin-tahuan sains (Fagerberg, 2005). Inovasi berjiwa kompetitif karena memang organ inti pekerjanya adalah kalangan sains yang budaya dasarnya kompetitif (Stephan, 1996).  Maka jangan heran jika menemukan ternyata sejarah menyimpulkan masyarakat Jepang dulu kaum pemalas (Linhart, 1988). Jika sekarang etos kerja mereka berubah total, itu buah hebatnya promosi pemerintah agar masyarakat luas melek inovasi iptek.

Di sini, beratnya beban kelahiran BRIN justru selaras dengan besarnya momentum yang dibutuhkan oleh Presiden Jokowi, untuk mereorientasi kognisi penataan litbang Indonesia. Jika sukses, BRIN bakal ikut menentukan taraf peradaban bangsa.

Kontrak Baru

BRIN perlu jadi warisan kontrak sosial baru antara kalangan iptek dan publik. Berlatar belakang mulia, yang esensinya mentransparankan penggunaan dana litbang, menuntut BRIN gamblang melaporkan guna pemakaian sumber daya publik oleh kalangan iptek bagi masyarakat sendiri. Mengikuti definisi inovasi, BRIN sebagai aktor pemerintah perlu merumuskan langkah agar segenap kelompok kementerian mewujudkan kepentingan dalam format iptek.

Era Industri 4.0 sebetulnya sudah secara inheren menuntut hal sama. Jika BRIN sukses mengintroduksi inovasi di pemerintahan, niscaya inovasi iptek segera jadi kebutuhan dasar berbangsa dan bernegara.


------------------------

Amir Manurung
> Alumnus Program Doktoral Kebijakan Iptek & Inovasi GRIPS, Tokyo, Jepang;
> Pernah menjabat Analis Inovasi Industri di Kemenristek/BRIN.

 


Komentar

Belum ada komentar

Tinggalkan Pesan

Blog Terbaru

Inovasi "Champion of the Forest" dan Spirit “5K”

Oleh: Wiratno * (23-Sep-2023) Perhutanan Sosial sejak diperjuangkan oleh banyak tokoh di Kongres Ke

INOVASI TANPA DISRUPSI

Inovasi “besar” seringkali langsung diasosiasikan dengan terjadinya disrupsi / gangguan

Lima Hal Untuk Menjadi Inovator Sejati

Pertama-tama saya perlu mengakui, bahwa saya bukanlah seorang inovator. Bukanlah hal yang mudah untu

TRL, MRL, IRL, DRL, DLL …. DLL ………….

Tantangan terbesar kita dalam berinovasi bukanlah karena terbatasnya kompetensi manusia Indonesia, a

Menuju Inovasi Nasional yang Berkinerja, atau Bubar Jalan?

Catatan: Tulisan ini selengkapnya telah dimuat di terbitan “105 Inovasi Indonesia -